Sejarah Dan Pirinsip ASWAJA (Ahlussunah Wal-Jama’ah)
Tentang Aswaja
Aswaja versi Bahasa
terdiri dari tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga, golongan, atau pengikut, komunitas. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah saw,
masksudnya semua yang datang dari Nabi saw berupa perbuatan, ucapan, dan
pengakuan Nabi saw. Sedangkan kata Al-Jamaah adalah pa yang
telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah saw pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar
Ra., Umar bin Khattab Ra., Utsman bin Affan Ra., dan Ali bin Abi Thalib Ra.).
Dari deskripsi yang ada
bisa dipahami bahwa ahlussunnah wal
jama’ah ialah golongan yang mengikuti prilaku Nabi Muhammad SAW dan prilaku
para sahabat pada zaman pemerintahan Khulafaur
Rasyidin.
Garis-Garis
Besar Doktrin Aswaja
Islam, iman dan ihsan adalah trilogy agama
(addin) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syariah sebagai realitas
hukum, thariqah sebagai jembatan
menuju haqiqah yang merupakan puncak
kebenaran esensial. Ketiganya merupakan sisi yang tak terpisahkan dari keutuhan
risalah yang dibawa Rasulullah saw yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme
(lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam, iman, dan
ihsan), masing-masing saling melengkapi satu sama lain.
a) Doktrin
Keimanan
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau meng-Esakan Allah dalam af'al, shifah dan dzat. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi‘li, yaitu (fana‘ dari seluruh perbuatan), tauhid washfi, yaitu (fana‘ dari segala sifat), dan tauhiddzati, yaitu (fana‘ dari segala yang maujud).
Fana‘ fi‘li disebut juga dengan ilmul yaqin,
Fana‘ washfi disebut juga dengan ainul yaqin, dan
Fana‘ dzati juga disebut dengan haqqul yaqin.
Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. Ashshafat: 96).
b) Doktrin
Keislaman
Doktrin keislaman yang selanjutnya termanifestasi ke
dalam bidang fiqh yang meliputi hukum legal-formal (ubuddiyah, mu’amalah, munakahah,
jinayah, siyasah dan lain-lain), aswaja berpedoman pada salah satu dari empat
madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah. Ada alasan
mendasar mengenai pembatasan aswaja hanya kepada empat madzhab ini. Di samping
alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang
terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat
madzhab ini relatif tawazun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql
(rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Empat madzhab ini yang
dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang cenderung
tekstualis dan Madzhab Mu'tazilah yang cenderung rasionalis.
c) Doktrin
Keihsanan
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke
dalam bidang tasawuf atau akhlaq ini, aswaja berpedoman pada konsep tasawuf
akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam Al-Junaid Al-Baghdadi dan
Al-Ghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti
manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok aswaja, seperti Ibn
Al'arabi, Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya. Dapat
dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori aswaja meliputi ahli tauhid
(kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadits (muhadditsin).
B.
Sejarah Aswaja
Kemunculan
aswaja tidak lepas dari dinamika pendapat umat islam itu sendiri. Dimulai pada
zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Pertikaian politik antara Ali bin Abi
Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan Gubernur syiria yang waktu itu
melakukan manuver untuk menggoyang pemerintahan Ali yang berakhir dengan tahkim
(arbitrase), mengakhibatan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu.
Kubu
pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash dan semua
yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum Allah.
Mereka memahami secara sempit. Semboyan mereka adalah Laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama
ini kemudian menjadi kaum Khawarij.
Sedangkan
kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah representasi dari
Rasulullah saw. Dan kubu kedua ini menjadi kaum Syiah. Belakangan, golongan
ekstrem (rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali
tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem yang disebut Ghulat
mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja yang
mendukung Ali. Di sinilah awal mula pertikaian antara Syiah dengan Khawarij
yang terus berlangsung hingga kini.
Khalifah
Ali kemudian dibunuh oleh kaum khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam,
seorang penganut fanatic khawarij. Ibnu muljam adalah sosok ahli ibadah,
penghafal Al-Qur’an, dan sering berpuasa. Fanatisme dan minimnya ilmu sehingga
menjadikannya seorang pembunuh.
Berdasarkan
musyawarah ahlul halli wal aqdi yang
beranggotakan sahabat-sahabat besar yang masih tersisa waktu itu, menyepakati
kedudukan Ali sebagai Khalifah digantikan oleh putranya Al-Hasan. Namun
Al-Hasan hanya dua tahun menjabat sebagai khalifah. Ia mengundurkan diri dan
menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah karena menurut ijtihadnya
mengundurkan diri adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat.
Naiknya
Muawiyah menjadi Khalifah menimbulkan reaksi keras dari kelompok Syiah dan
Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perangterhadap
Bani Umayah. Perselisihan makin memuncak manakala Muawiyah mengganti sistem
Khalifah menjadi monarki absolut, dengan menujuk anaknya Yazid sebagai khalifah
selanjutnya.
Di sisi lain, tragedi karbala yang menyebabkan
terbunuhnya cucu Rasulullah saw Al-Husein dan sebagian besar ahlul bait
Rasulullah saw pada masa Khalifah Yazid bin Muawiyah, telah mengobarkan
semangat kaum Syiah untuk membrontak Bani Umayah. Pertikaian selanjutnya
melebar jadi pertikaian segitiga antara Bani Umayah, Syiah, dan Khawarij.
Pertikaian terus berlanjut hingga masa Bani Abbasiah. Dua kelompok ini
senantiasa merongrong pemerintah yang sah.
Pertikaian
politik yang melanda umat islam awal pada akhirnya juga melahirkan kelompok
lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad ketiga Hijrah muncul kelompok
murjiah, yang berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada pihak yang
berdosa. Dosa dan tidaknya serta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah
diputuskan di dunia, melainkan di akhirat oleh Allah SWT.
Dari
persoalan politik kemudian merembet menjadi persoalan akidah. Perdebatan siapa
yang bersalah dalam konflik Ali dan Muawiyah melebar menjadi perdebatan tentang
perbuatan manusia. Setelah murjiah, munculah aliran Jabbariah (fatalisme) dan
Qadariah (fre act and fre will). Jabbariah berpendapat, perbuatan manusia
diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tidak lebih laksana wayang yang
digerakkan oleh dalang. Qodariah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia
sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa ada “campur tangan” Tuhan
terhadapnya.
Setelah
Qadariyah dan Jabbariah, berikutnya muncul aliran Mu’tazilah yang berpendapat
sama dengan Qadariah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka menolak
penetapan sifat (atribut) pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki
sifat berarti ada dua materi pada Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini berarti
telah syirik atau menduakan Allah.
Lahirnya
aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya disebabkan oleh
persoalan politik yang melanda umat islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran dari luar islam. Hal ini merupakan imbas dari semakin
luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah bekas kekaisaran
Persia dan Romawi yang sudah lebih dulu memiliki peradaban yang mapan dan telah
bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filasafat ketimuran.
Mencermati
perkembangan sejarah aliran-aliran dalam islam, kelompok kaum muslimin yang
seantiasa konsisten terhadap as-Sunnah memang telah muncul jauh sebelum
al-Asy’ari lahir. Pada permulaan islam, terjadi sebuah pergolakan besar, sebuah
pertikaian antarkaum muslimin yang menjadi titik sejarah munculnya
kelompok-kelompok kaum muslimin, dua orang sahabat Nabi saw, Abdullah bin Abbas
(w. 67 H) dan Abdullah bin Ummar (w. 74 H), mengungkapkan sikap perlunya
mengembangkan solidaritas dan persatuan umat.
Keduanya
dengan serius mulai melakukan kajian-kajian terhadap as-Sunnah sebagai jalan
memahami agama dengan benar dan mendalam. Pandangan-pandangan kedua orang ini
kemudian hari akan menjadi corak pemikiran aswaja. Disisi lain, ahlussunnah
dengan pengertian ahli hadist juga telah muncul mendahului al-Asy’ari. Ahmad
bin Hanbal dan para pengikutnya mengklaim pihaknya sebagai pembela hadis Nabi
Saw paling konsisten. Ia juga muncul untuk mengkonter ahl ar-ray (rasionalis), baik dalam lapangan kalam maupun fiqh. Di
kemudian hari kelompok ini lebih popular sebagai golongan salaf, yakni kelompok
yang mengajak pada cara hidup Nabi Saw dan para sahabatnya secara tekstual.
Suatu pemahaman tanpa ta’wil (penafsiran).
Al-asy’ari
yang muncul beberapa waktu kemudian mencoba memformulasikan konsep-konsep
as-Sunnah dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan teologi secara berbeda.
Momennya yang tepat membuat pikiran-pikiran al-Asy’ari atau al-Maturidi
berhasil menarik kaum muslimin ketika itu sampai hari ini.
Paradigma
dan pikiran-pikiran al-Asy’ari dan al-Maturidi oleh para pengikutnya lalu di
klaim sebagai ahlussunnah dan konotasikan seperti yang dimaksud oleh hadist
Nabi Saw tadi. Pengklaiman para pengikut al-Asy’ari secara politis sangat
berhasil. Aswaja akhirnya menjadi sebuah doktrin keagamaan yang berhadapan
secara tajam dengan kelompok-kelompok lain: Syiah, Khawarij, dan terutama
Mu’tazilah.
Para
pengikut al-Asy’ari diantaranya al-Baqillani (w. 403 H/ 1013 M), al-Juwaini (w.
478 H), dan al-Ghazali (w. 505 H/ 1111 M) semakin memperkokoh ajaran-ajarannya.
Ali Sami Nasyar menganggap bahwa di tangan Abu Hamid Al-Ghazali doktrin-dokrin
keagamaan aswaja mendapat bangunan yang sangat kuat dan final.
Meskipun
pada mulanya aswaja al-Asy’ari atau al-Maturidi hanya dipakai untuk kajian dan
pemikiran teologis, para pengikutnya kemudian mengembangkannya dalam berbagai
wacana keislaman yang lain: fiqh, tasawuf, sosial-politik, dan lain-lain).
Dengan
demikian aswaja bukan saja dapat dipahami secara filosofis sebagai paham yang
berlandaskan pada ma ana alaih wa ashhabi
melainkan juga pada dataran ralitas kesejarahan umat. Diakui atau tidak,
asawaja telah menjadi sebuah madzhab yang mengaku pada sebuah aliran yang
memakai unsur manhaj (cara berfikir)
dan doktrin (mahajiyyan wa ‘aqdiyan)
yang dapat dibedakan dari madzhab lain, dengan al-Asy’ari dan al-Maturidi
sebagai pelopornya.
C.
Tokoh-Tokoh Aswaja Dan Pemikiran Aswaja
1. Aqidah/Teologi
Mengikuti pada Abu Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam hal ini pada abad ke 2 dan ke 3 H, terjadi perseteruan
antara golongan Rasionalisme dan golongan muhaditsin. Inteperseolan adalah
kedudukan akal dan wahyu. Sejak awal abad ke-2 H, golongan mu’tazilah yang
bercorak rasional tampil dengan kebebasan akalnya. Perlahan
lahan ia mendominasi masyarakat islam. Aliran ini mencapai puncaknya pada masa
khalifah Bani Abbas : al-Ma’mun, al-Mu’tasim, dan al-Watsi1 (813-847 M). Zaman keemasan mu’tazilah
berlangsung selama 30 tahun segera berakhir akibat perbuatan mereka sendiri.
Mereka mengagung-agungkan kebebasan berfikir, namun
memaksa atau membelenggu kebebasan berfikir orang lain untuk mengikuti
pahamnya. Mereka melakukan al-mihnah
(inquisition) uji coba dengan kekerasan dan penganiayaan kepada semua pengawal,
ulama, dan rakyat pada umumnya untuk mengikuti ajarannya, yaitu Al-Qur’an itu
makhluk. Mulai saat ini keadaan mulai terbalik. Golongan mu’tazilah yang
sebelumnya memegang peran ini menjadi figuran, tanpa
kekuasaan diatas dan simpati dari bawah. Itulah terjadi selama bertahun tahun
sampai munculnya paham “al-Asy’ariyah dan maturidiyah” sekitar 300H.
Al-Asy’ariyah adalah ajaran Abu al-Hasan Ali bin Ismail
al Asy’ari. Ia di lahirkan di bashrah pada 260H/873M. Dia murid terbaik dari al
jubba’i, seorang pemimpin mu’tazilah di bashrah. Sampai usia 40 tahun beliau
tetap mendampingi dan mewakili al jubba’i dalam beberapa perdebatan. Ia
menantang balik gurunya di sebabkan masalah ash-shalah wa al-ashlah yang
menjadi salah satu doktrin mutazilah.
Al-maturidiyah adalah ajaran Muhammad bin Muhammad Abu Manshor
al-Maturidi. Ia dilahirkan di maturid (samarkand) dan wafat pada 333 H/944 M.aliran
al-maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional tradisional.
Aliran ini kali pertama muncul disamarkan, pertengahan ke-2 abad ke 9M,
Al-Maturidhi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan
pertentangan pendapat antara mu’tazilah dan Asy’ariyah mengenai kemampuan akal
manusia. Aliran ini disebut memiliki kesamaan dengan Asy’ariyah. Banyak
kalangan yang menilai pemikirannya merupakan jalan tengah antara mu’tazilah dan
aliran Asy’ariyah. Aliran Mathuridiyah dan Asy’ariyah secara tegas menentang
aliran Mu’tazilah. Kaum Asy’ariyah berhadapan dengan Mu’tazilah dipusatnya
(Kota Basrah), sedangkan Mathuridiyah berhadapan di Uzbekistan (Kota Mathurid).
Karena itulah Mathuridi dan Asy’ariyah dianggap memiliki kesamaan walaupun beda
aliran.
1.
Fiqih/hukum
Berpacu
pada salah satu al madzahib al arba’ah (Imam hambali, hanafi, maliki, syafi’i)
Sitem kemadzhaban
Dalam perjalanan umat
islam hal yang tidak bisa dijalani perpecahan karena perbedaan pendapat
kepentingan pribadi kurang paham ajaran agama sebenarnya dan sebab-sebab lain
seperti politik, ekonomi, budaya, sosial, serta lainya. Perbedaan yang muncul
dijaman rosulullah terjadi dengan adanya kepentingan saling mencari pengaruh
agar menjadi tokoh yang menggantikan rosul secara sah. Perpecahan tersebut
diterangkan umat yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan nasrani menjadi 72
golongan sedangkan islam menjadi 73 golongan.
Pada dasarnya umat
agama itu ada 1 golongan akan tetapi ketika terjebak dalam kepentingan baik golongan ataupun
pribadi mereka akan terpecah-pecah. Perpecahan ini muncul sejak terbunuhnya
khalifah ustman bin affan. Pada masa khalifah ali perpecahan merunjing. Motif
utama dari perpecahan tersebut adalah kepentingan politik, kemudian berkembang
menjadi aspek-aspek ajaran agama.
Sudah disepakati bahwa ajaran islam terdiri
dari 3 unsur pokok:
1)
Akidah yakni hal-hal yang bertalian dengan keyakinan
agama
2)
Syariah yakni ajaean yang bersifat praktis, amaliyah
fisik riil.
3)
Akhlak yakni amaliyah yang menyempurnakan dan memperindah
perilaku praktis dalam berhubungan denag allah SWT, manusia dan alam semesta.
Secara intelektual
masalah akidah merumuskan dalam ilmu kalam, ushuludin atau tauhid. Dalam ilmu
ini lahir berbagai mahdzab seperti khawarij, mu’tazilah, asy’ariyah dan
mturidiyah, jabariyah dan qodariyah. Kemudian masalah syariah terformulasikan
secara intelektual dalam al-fiqh. Dalam bidang ini lahir pemikir-pemikir yang
merumuskan maksud syariah tersebut yang terfilter dalam 4 mahdzab yakni maliki,
hanafi, syafi’i dan hambali.
2.
Tasawuf
Menganut pada imam al junaidi al Baghdadi (w.297H) dan
abu hamid al ghazali (450-505/1058-111M). Al ghazali hidup berada dalam periode
klasik (650-1250M) namun sudah masuk kedalam masa kemunduran atau jelasnya masa
disintegrasi (1000-1250M).
Dikota baghdag nama al-ghazali semakin populer
dikalangan halaqoh (kelompok) pengajiannya semakin luas. Dikota ini pula beliau
mulai berpolemik terutama dengan golongan bathiliyah isma’illyah dan kaum
filosof. Pada periode ini pula beliau menderita krisis rohani sebagai akibat
sikap kesangsiannya (al-syak), yang oleh orang barat dikenal dengan skepticism,
yaitu kritis yang menyangsikan terhadap semua ma’rifat, baik yang bersifat
empiris maupun rasional. Akibat krisis ini beliau menderita sakit 6 bulan
sehingga dokter kehabisan daya untuk mengobatinya kemudian beliau meninggalkan
semua jabatan yang disandingnya seperti rektor dan guru besar di baghdag,
beliau mengembara di damaskus dimasjid jami damaskus, beliau mengisolasi diri
(uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama 2
tahun. Akhirnya beliau terlepas dari guncangan jiwa dengan jalan tasawuf. Imam
al-ghozali memiliki daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah sehingga digelari hujjatul islam karena kemampuannya
tersebut. Ia sangat dihormati dikota saljuk dan abbasiyah yang merupakan
kebesaran islam. Imam alghozali sangat mencintai ilmu pengetahuan beliau juga
sanggup meninggalkan kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta
meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Pemikiran tasawuf
al-ghozali ada beberapa tingkatan jalan atau atthoriq, ma’rifat, tingkatan
manusia, dan kebahagiaan.
D.
Prinsip Nilai dan Implementasi
1. Tawasuth
Taswasuth yaitu jalan tengah, tidak ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Dalam faham Aswaja, baik bidang hukum (syari’ah), bidang akidah, maupun bidang akhlak, selalu dikedepankan prinsip jalan tengah yang moderat. Juga di bidang kemasyarakatan selalu menempatkan diri pada prinsip hidup menjujung tinggi keharusan berlaku adil, lurus di jalan tengah-tengah kehidupan bersama, sehingga ia menjadi panutan dan menghindari segala bentuk pendekatan ekstrim.
2. Tawazun
Tawazun yaitu menjaga keseimbangan dan keselarasan sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, antara kepentingan pribadi dan masyarakat, antara kepentingan masa kini dan masa datang. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, atau menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain. Tetapi masing-masing pihak mampu menempatkan diri sesuai dengan fungsinya, tanpa mengganggu fungsi dari pihak lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan dalam hidup
3. Tasamuh
Tasamuh adalah bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu dan saling memusuhi. Dengan demikian yang diharapkan terciptanya persaudaraan dengan mentoleransi perbedaan yang ada, bahkan keyakinan yang beda sekalipun.
4. I’tidal
I’tidal yaitu adil, tegak lurus, atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Menempatkan sesuatu pada tempatnya adalah salah satu tujuan dari syari’at Islam. Dalam kehidupan sosial, rakyat sebagai komponen yang paling penting dalam negara demokrasi harus mendapatkan keadilan dari pemerintah, sesuai dengan hak-haknya dengan terimplementasikan undang-undang sebagaimana mestinya, tanpa diskriminasi. Perjuangan menuju keadilan sosial harus terus dikawal, sesuai dengan pesan luhur dalam nilai-nilai Pancasila.
Jika empat prinsip nilai di atas diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri dan inti ajaran Aswaja adalah pembawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Sikap moderasi yang tercermin dalam empat nilai di atas harus dijadikan pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam segala hal, yang menyangkut agama dan segala aspek sosial yang lainnya. Apabila nilai-nilai itu diimplementasikan dalam proses pendidikan, tentu akan mampu menangkal faham yang dapat mengancam disintegrasi bangsa serta ikut menumbuhkan persatuan dan kesatuan dalam entitas NKRI atau Negara Kesatuan Rapublik Indonesia.
Komentar
Posting Komentar